Langsung ke konten utama

Cerpen - Bulan Yang Malang

Hati yang dipenjara. Beribu langkah telah aku lalui. Tanpa ada satu orang pun yang menemani. Menelusuri jejak di bumi. Mencari jati diri. Aku terus bernyanyi. Menanti hari indah yang datang kembali.
“Hari ini mau kemana?” Aji datang dengan memakai topi kupluk khasnya.
“Em.. Paling ke tempat biasa. Kamu mau kemana?”
“Ikutan aku aja. Pasti kita dapat peruntungan kali ini.”
Aku mengangguk. Perasaanku mengatakan bahwa mengikuti saran teman baru ku kenal tiga minggu ini. Siapa tahu rejeki melimpah ruah dan dapat ku simpan nanti.
***
Hari itu, hari sebelum perayaan ulang tahunku. Ketika aku berumur 18 tahun dan hampir menyelesaikan bangku SMA. Hal yang tak ku duga selama ini terjadi. Tepat ketika aku pulang sekolah, memasuki rumah kontrakan di pinggir kota dan hendak santap siang.
“Permisi”. Seseorang mengetuk pintu.
“Iya. Sebentar.” Ibu setengah berlari menuju ruang tamu.
Entah siapa yang datang. Aku tak peduli. Aku sangat menikmati lauk ikan asin, oncom dan tumis bayam di meja makan. Enak sekali rasanya. Makanan terlezat yang mampu mengalahkan masakan koki terkenal sekalipun. Tiba-tiba..
“Tidak mungkin. Kamu pasti berbohong, kan?” Ibuku berteriak sangat kencang. Aku segera berlari ke sumber suara.
“Aku tidak berbohong, bu. Anak dalam kandungan ini buktinya. Suami ibu yang melakukannya.”
Alangkah terkejutnya ibu, melebihi aku. Sungguh kami berdua tak menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi. Memang selama ini ayah dan ibu sering berkelahi, bertengkar, adu mulut, cekcok, dan parahnya ayah tak jarang memukui ibu karena upah ibu menjadi pembantu tak sesuai dengan permintaan ayah. Ayah memang tak bekerja. Tapi ia selalu berkata akan menghasilkan uang dari hasil berjudi.
Dan.. ini puncaknya. Tak hanya berjudi ayah juga berselingkuh dengan wanita muda. Aku sungguh tak sanggup lagi melihat ibu yang tersiksa. Aku protes keras.
“Bu, Bulan tak tahan lagi tinggal di rumah ini. Izinkan Bulan pergi bu.”
“Jangan, nak. Jikalau engkau pergi, siapa yang akan menemani ibu.”
Aku tak mendengar, bukan, lebih tepatnya pura-pura tak mendengar. Aku ingin berlari sejenak, menenangkan pikiran, ku tinggalkan sekolah, ku tinggalkan ibu, ku tinggalkan rumah karena sungguh, aku benar-benar tak tahan melihat dan memiliki ayah yang kejam terhadap ibu. Aku pergi ke pusat kota dan mencari nafkah sendiri.
***
Kami berdua berdendang bersama. Melantunkan syair dan nada yang indah dari lagu-lagu yang sedang digemari banyak orang. Itu taktik kami dalam memikat pendengar dan akhirnya memberikan selembar dua lembar rupiah dalam plastik yang kami edarkan. Dari bis satu ke bis yang lain, dari jalan satu ke jalan yang lain, hingga kami hampiri rumah dan warung makan hingga larut malam. Dan, benar saja apa yang dikatakan Aji. Kami hari ini senang sekali sebab hal mendapat uang yang banyak. Tak peduli kami hanya makan dua kali sehari dan mana peduli kami keringat bercucuran karena terik matahari. Aku ingin sekali berlari.
“Lan, lihat! Ini tiga kali lipat dari hasil ngamen biasanya.” Aji tertawa senang.
“Iya, ji. Kamu benar. Aku percaya sama kamu.”
“Besok kita stay disana lagi ya?”
“Oke deh..”
Aku menghela nafas. Hari minggu memang kota sangat ramai. Banyak muda-mudi hilir mudik menikmati liburan. Keluarga yang jalan-jalan dan menikmati waktu kosong kerja. Menghabiskan waktu bersama. Aku dan Aji berteman. Aji adalah orang yang baik. Ia rela membagi kamar kosnya denganku.
Aku terdiam. Bulan menatap bulan. Teringat jelas akan wajah ibuku yang selalu tersenyum ketika aku datang, ketika aku berada disampingnya dan ketika aku mengusap air matanya. Aku rindu ibu. Bulan diatas sana seolah tahu apa yang aku rasakan. Bulan yang kini duduk dibawah sinar rembulan sedang meratapi nasib hidupnya tanpa ibu. Aku sadar aku salah. Meninggalkan ibu sendiri dirumah dan ditinggalkan oleh ayah demi istri barunya. Aku ingin sekali bertemu ibu.
“Hei, lan. Kenapa kamu?”
Aku tetap menatap angkasa.
“Kalau kamu mau bertemu ibumu, temui saja. Ibu itu adalah orang yang selalu ingin bertemu anaknya, lan. Aku saja ingin bertemu ibu jika ibuku masih di dunia.”
Ketika aku telah terjun dalam lamunanku...
“Bulan.. Bulan..” Seseorang menyebut namaku.
Aku menoleh ke sosok wanita yang memang sedang ku pikirkan. Ibu datang menemuiku sebelum aku hendak menemuinya. Aku segera beranjak dan merangkulnya erat-erat. Tak ku sadari ku teteskan bulir-bulir air mata. Dandanan ibu lebih rapi.

Ternyata, semenjak ditinggal ayah, lalu aku pergi, ibu berhenti menjadi pembantu rumah tangga dan menjadi koki di salah satu restoran terkenal di pusat kota. Majikan ibu yang merekomendasikannya. Kini ibu telah memiliki rumah dan terus mencariku hingga kami bertemu malam ini. Aku, Bulan yang malang menemukan malam yang sungguh menyenangkan selama hidup.

*Cerpen yang tak lolos seleksi dalam lomba menulis bulan ini hihi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik lagu "Ngumpul-ngumpul" lagu khas Bangka

Ngumpul-ngumpul sipak ungket di Girimaya Nek gi jalan nek gi mancing ke Pasir Padi Nari-nari nyanyi-nyanyi parai tenggiri Pilih bae ape nek e semuen ge ade **Banyak miak banyak bujang dr lah mane Bujang baru miak baru datang gi namu Ayo kawan kite sambut S'pintu Sedulang Adat negri sampai kini die lestari   Reff :  Cuma jgn ki lupa sopan santun dijage Dak kawa urang ngate ki gile Kite jage besame semboyan negri kite Berteman bersih tertib & aman  Ngumpul-ngumpul sekeluarga gi ke Pemali Kite mandi ayik anget badan ge seger Renyek nginep hawa seger gi ke Menumbing Dulu suah pale kite nginep disini Back to **

Resensi Novel Tenun Biru karya Ugi Agustono J.

Judul Resensi : Terjun menuju Ragam Daerah dan Budaya di Indonesia Identitas Buku Judul buku            : Tenun Biru Pengarang             : Ugi Agustono J. Penerbit                 : Nuansa Cendikia Alamat penerbit    : Komplek Sukup Baru No. 23 Ujungberung Kota terbit             : Bandung Jumlah halaman    : 362 halaman Ukuran                  : 14,5 x 21 x 2 cm Cetakan I              : November 2012 Harga                    : Rp. 50.000,- Ugi Agustono J. (Ugi J.) alumnus STIE Perbanas Surabaya jurusan Akuntansi ini memiliki tradisi otodidak dalam urusan membaca dan kemauan luar biasa besar menulis beragam karya, dari ilmiah hingga karya fiksi. Dulu ia suka menulis naskah untuk program pendidikan SD, SMP & SMA—meliputi pelajaran Fisika, Kimia, Biologi, Sejarah dan Matematika. Karya fiksi sebelumnya yang sudah terbit adalah novel Anakluh Berwajah Bumi yang diterbitkan oleh Gramedia-Kompas 2010. Ratna terlahir dari keluarga mampu, punya pendidik

Pengalaman Pertama Naik Kapal Ferry

Setiap diri dari kita pastilah pernah melakukan suatu perjalanan, baik itu dalam jarak yang dekat maupun jauh. Baik dilakukan dengan sendiri atau beramai-ramai. Setiap dari perjalanan itu memiliki suka dan duka masing-masing. Aku, sejak dilahirkan hingga kini menginjak usia dewasa, sudah beberapa kali melakukan perjalanan.  Enam tahun yang lalu, saat masa-masa kegalauan dan penuh ketidakpastian. Senja itu, aku duduk didepan seperangkat komputer di sebuah warnet, hendak mengecek pengumuman SNMPTN. Pukul lima sore katanya sudah bisa diakses, jadilah aku memasukkan nomor pendaftaran dan kabar bahagia itu datang. Aku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia dengan jalur beasiswa. Tidak di kota aku dibesarkan, melainkan di pulau seberang. Bukan. Bukan pulau Jawa! Melainkan pulau yang kaya dan terkenal penghasilan sumber daya alamnya berupa timah. Itu adalah pulau Bangka Belitung. Berbekal pengumuman dan sejumlah berkas persyaratan yang dibutuhkan