Langsung ke konten utama

Cerpen - Ujian Cinta



Hampir dua tahun lamanya aku menjalin hubungan lebih dari teman bersama Yeni Oktaviani. Ia adalah seorang gadis yang manis dan berkulit kuning langsat. Rambutnya lurus hitam tergerai panjang. Mahasiswa yang duduk di semester tujuh sama sepertiku. Ia kuliah di Universitas Bangka Belitung.
Perkenalkan. Namaku Aji Wardana, akrab disapa Aji. Aku adalah putra tunggal dari direktur utama dua perusahaan bidang tambang timah di Indonesia. Hidup dengan kemewahan dan segala hasrat terpenuhi tidak membuatku bahagia. Orang tua terlalu sibuk mencari uang selalu mengacuhkanku padahal aku selalu berprestasi di bidang akademik dan seni. Kedua orang tuaku menetap di Pangkalpinang, padahal papa asli orang Lampung dan mama dari Bandung. Aku kuliah di universitas negeri favorit beralmamater kuning di Jakarta.
Aku dan pacarku sangatlah berbeda, kehidupanku penuh dengan harta kekayaan, sedangkan ia harus bekerja paruh waktu sebagai guru les bahasa inggris untuk membiayai kuliah dan menyekolahkan adiknya. Kedua orangtuanya bukan tidak ada, hanya saja mereka bekerja sebagai tenaga serabutan dimana uang yang didapat sangatlah minim. Rumah mereka pun sederhana dengan lantai tanah. Meskipun begitu, aku iri kepada mereka yang tetap bahagia meski tidak bergelimang harta. Senyum bahagia menghiasi wajah-wajah keluarga itu ketika mereka berkumpul bersama.
“Ini apa? Kamu sekarang sudah berpaling ya?” Mama berteriak dari lantai satu sambil memegang kemeja biru papa.
“Aku tidak tahu kenapa noda lipstik itu bisa disitu. Aku tidak seperti yang kamu pikirkan.”
“Ini buktinya masih ada. Sudah jelas tapi masih mengelak.”
Aku yang sudah terbiasa melihat kedua orang tuaku bertengkar hanya mengeluh sedih melihat kenyataan pahit ini. Ku sandarkan tubuhku di dinding lantai dua yang tepat mengarah kepada mereka yang tengah bertengkar hebat kali ini.
“Aku memang sangat sibuk dan jarang pulang ke rumah tetapi bukan berarti aku punya selingkuhan. Sudah, aku pusing berdebat sama kamu.”
Papa bergerak menuju daun pintu rumah dan membawa kunci mobil. Dasar papa! Bukannya mengatasi masalah dan menjelaskan kepada mama dengan baik, ia malah pergi. Aku benci dia.
oOo
Liburan semester ganjil ini aku pulang ke rumah di Pangkalpinang sambil menyusun skripsiku. Aku harus segera lulus dan mengambil kuliah strata dua di Amerika. Itu semua bukan keinginanku, papa lah yang mau. Jurusan Manajemen yang selalu ia bangga-banggakan membuat ia memaksakan aku agar menjadi pimpinan di perusahaannya.
Sayang, besok aku jemput kamu ya, kita jalan ke pantai. Lagian sudah lama kan gak ketemu. Aku kangen.
Pesan singkat itu ku kirimkan kepada Yeni. Selang dua menit pun sms masuk ke smartphone ku.
Oke. Aku tunggu ya, sayang. Miss you too.
Keesokan harinya, aku bergerak meluncur menggunakan kendaraan roda empat kesayanganku. Fortuner hitam melesat kencang di jalanan yang tiada macet. Aku tak sabar bertemu kekasihku setelah dua bulan tidak bertemu karena kesibukan kuliah masing-masing. Aku telah berada di depan rumah mungil dan Yeni segera masuk ke dalam mobil. Aku berencana mengajaknya ke pantai yang belum pernah ia kunjungi. Tiga jam perjalanan menuju pantai tersebut. Pantai Tanjung Krasak terletak di Bangka Selatan. Pantai yang masih perawan dan terdapat banyak batu-batu besar. Air laut yang menyimpan banyak ikan segar. Disanalah kami akan menghabiskan waktu hingga matahari terbenam.
“Lumayan capek ya. Tapi.. lebih capek kamu deh, yang.”
“Ya iya lah, kan aku yang nyetir. Kamu dari tadi tidur kok bisa capek. Yuk, kita kesana.”
Pukul satu siang, pantai itu belum ramai. Hanya ada beberapa anak kecil yang bermain-main. Kami berdua langsung membentang tikar yang dibawa Yeni dari rumah dan segera makan siang bersama. Menikmati nasi, lauk pauk, sayur, sambal dan kerupuk buatan sang pacar ditemani dengan panorama alam yang indah membuatku serasa telah berada di surga. Apalagi semilir angin yang berhembus membuat kami menjadi lebih tenang dan nyaman walau siang ini sangat terik.
Selesai makan kami berfoto bersama, membuat kenangan indah pada layar kamera DSLR ku. Salah satu anak kecil ku panggil dan ku ajari cara memakai kamera lalu ia bersedia mengambil gambar kami berdua. Setelah puas mengambil seluruh objek menarik dan mengabadikan kenangan. Adik kecil berkulit hitam itu aku beri uang selembar berwarna biru. Tulus sekali tawa yang terpancar dari wajahnya.
“Aku mau ke mobil dulu ya, mau ngmbil gitar, yang.”
“Oh.. iya. Hati-hati ya. Jangan lama-lama.”
Aku bergegas setengah berlari menuju mobil dan segera kembali ke bawah pohon tempat kami menggelar tikar. Lalu bernyanyi dan mendendangkan lagu favorit bersama. Suasana yang selalu ku rindukan ketika aku di Jakarta.
Berlanjut ke lagu selanjutnya, aku menyanyikan lagu band asli Indonesia, d’Masiv dengan judul Pergilah Kasih dengan penuh hikmad. Ketika lagu selesai, kami berdiam dalam keheningan masing-masing. Cukup lama. Hingga aku mencoba memulai percakapan baru dengan sedikit ragu.
“Jika memang kamu ingin pergi ke Paris, pergilah. Biarkan aku ke Amerika. Kelak kita pulang secara bersama. Kan ku jemput kau ke Paris. Mumpung ada kesempatan. Setelah menuntut ilmu, kita pulang ke Pangkalpinang lalu kita akan menikah.”
“Bagaimana dengan cinta kita? Terkadang rencana yang sudah matang selalu saja tidak sempurna.”
“Jangan pikirkan papa ku. Aku tidak mau dijodohkan sama anak temannya itu. Cewek itu resek dan sombong. Lagian aku cinta sama kamu, bukan yang lain.” Mataku kosong menatap birunya air laut.
“Dari dulu saja kamu tidak menentang semua keputusan ayahmu. Kau bisa berubah kapan saja.”
“Tidak usah khawatir. Aku janji tak akan meninggalkan kamu. Percaya sama aku.”
oOo
Namun nasib memang tak sejalan dengan rencana kami berdua. Setelah kami pergi ke luar negeri, hubungan kami terputus. Semua karena papa. Susah payah aku menentang, tapi ia keras kepala juga. Aku dilarang berhubungan dengan Yeni, jika ketahuan maka aku tidak dianggap sebagai anaknya lagi. Hah! Papa macam apa itu.
Pernah sekali aku menghubungi Yeni lewat nomor handphone-ku yang baru, tapi papa malah tidak memberikan uang apapun selama 6 bulan. Sungguh kejam! Pernah juga aku bersikukuh sekedar memberi kabar kepada Yeni agar ia tak usah khawatir melalui telepon genggam temanku, Jhon Meyer, papa juga tahu. Lalu Jhon malah disuruh menjauh dariku. Aneh kan?
Tiga tahun lamanya kami tak berkomunikasi sama sekali. Papa sangat licik, ia selalu melarangku berhubungan dnegan Yeni. Ia tak tahu padahal anaknya ini sangat merindukan kekasihnya. Hampir tiap malam bermimpi. Tiap pekan melamun dan membayangkan jutaan memori indah kami yang terlewati. Aku merana. Kian hari rindu ini kian besar. Aku jga takut kalau-kalau Yeni telah memiliki hubungan asmara dengan laki-laki lain dan telah menikahinya. Padahal dulu sebelum kami berangkat, ia malah menginginkan kami segera menikah. Ah! Bodoh sekali aku waktu itu. Jikalau tahu akhirnya akan seperti ini, kami akan segera menikah. Dulu aku belum berani meminangnya karena mental keberanianku belum cukup kuat.
Detik ini tepat tiga tahun, aku lulus dengan predikat cum laude, aku sangat yakin Yeni pun begitu. Maka dengan senang hati aku langsung meninggalkan negara pimpinan Barack Obama ini dan bergegas menuju Pangkalpinang.
Harapanku hanya tersisa satu, segera menemuinya. Aku ingin memastikan apakah ia baik-baik saja setelah tiga tahun aku tak memberi kabar? Apakah ia telah memiliki kekasih yang baru? Apakah ia juga merindukanku?
Pukul 11 siang. Aku menjatuhkan kaki ke Pangkalpinang, ku coba mnghubungi Yeni dengan perasaan bahagia. Sekarang setelah tiga tahun lamanya, papa membolehkan ku berhubungan dengan Yeni lagi. Katanya aku sudah lulus dari ujian yang ia berikan, aku mampu bersabar dan selalu memberikan yang terbaik untuknya. Yah, walau ia selalu memaksakan semua keinginannya kepadaku tetapi aku selalu menurut dan tak pernah membantah. Karena aku selalu baik juga yang membuat papa dan mama tidak lagi bertengkar selama satu bulan belakang. Aku harap ini dapat berlanjut.
Sangat disayangkan nomor handphonenya tidak aktif lagi. Mungkin ia sangat marah karena aku tak pernah memberi kabar atau ia ingin tidak meingingatku lagi. Ah, berbagai pikiran berkecamuk di otakku.
“Pak, saya gak jadi pulang ke rumah. Kita ganti tujuan ke Tuatunu ya.”
Sopir taksi bandara tersebut menganggukan kepala. Aku ingin segera kerumah Yeni. Ia sudah tiga minggu pulang ke Indonesia, aku tahu kabar itu dari sahabatku, Jerry, aku menelponnya setelah memberi instruksi kepada sopir taksi. Tak banyak kabar yang diberikan olehnya, ia hanya tahu keadaan Yeni sehat. Ia bertemu dengan Yeni dua hari yang lalu.
“Berhenti di depan rumah yang ada pohon mangga itu, pak.”
Mobil orange itu segera menepi dan aku segera meluncur keluar dari taksi. Koper ku tinggalkan sehingga membuat sopir itu tahu bahwa ia harus menunggu tanpa aku menyebutkan. Rumah Yeni tampak sepi, aku tahu orang tuanya pasti bekerja dan adiknya pergi ke sekolah. Ku ketuk-ketuk pintu dan memanggil pemilik rumah. Tak ada sahutan dari dalam. Tiba-tiba Yeni datang menghampiriku dengan wajah keheranan. Aku segera menghampiri dan memeluknya.
“Maaf. Maafkan aku, Yen. Papa yang memaksaku untuk tidak menghubungimu. Sekarang ayo kita menikah. Aku sangat merindukanmu. Aku sangat mencintaimu, Yeni.”
Dalam ganggaman eratku Yeni berkata dengan tulus.
“Aku mengerti. Tidak ada yang patut disalahkan. Kekuatana cinta kita sudah diuji dan kita berhasil melewatinya. Mari kita rajut kenangan indah yang baru.”
Kami pun larut dalam kerinduan mendalam dalam pelukan yang tak terlepaskan.

Komentar

  1. Kunjungan kak :D
    Keren cerpen.a, gya bahasa.a mudah d pahami, alur cerita.a jg menarik... ^_^
    Sukses trus ya :D

    BalasHapus
  2. oke ;) makasih dek, sukses jg aamiin

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik lagu "Ngumpul-ngumpul" lagu khas Bangka

Ngumpul-ngumpul sipak ungket di Girimaya Nek gi jalan nek gi mancing ke Pasir Padi Nari-nari nyanyi-nyanyi parai tenggiri Pilih bae ape nek e semuen ge ade **Banyak miak banyak bujang dr lah mane Bujang baru miak baru datang gi namu Ayo kawan kite sambut S'pintu Sedulang Adat negri sampai kini die lestari   Reff :  Cuma jgn ki lupa sopan santun dijage Dak kawa urang ngate ki gile Kite jage besame semboyan negri kite Berteman bersih tertib & aman  Ngumpul-ngumpul sekeluarga gi ke Pemali Kite mandi ayik anget badan ge seger Renyek nginep hawa seger gi ke Menumbing Dulu suah pale kite nginep disini Back to **

Resensi Novel Tenun Biru karya Ugi Agustono J.

Judul Resensi : Terjun menuju Ragam Daerah dan Budaya di Indonesia Identitas Buku Judul buku            : Tenun Biru Pengarang             : Ugi Agustono J. Penerbit                 : Nuansa Cendikia Alamat penerbit    : Komplek Sukup Baru No. 23 Ujungberung Kota terbit             : Bandung Jumlah halaman    : 362 halaman Ukuran                  : 14,5 x 21 x 2 cm Cetakan I              : November 2012 Harga                    : Rp. 50.000,- Ugi Agustono J. (Ugi J.) alumnus STIE Perbanas Surabaya jurusan Akuntansi ini memiliki tradisi otodidak dalam urusan membaca dan kemauan luar biasa besar menulis beragam karya, dari ilmiah hingga karya fiksi. Dulu ia suka menulis naskah untuk program pendidikan SD, SMP & SMA—meliputi pelajaran Fisika, Kimia, Biologi, Sejarah dan Matematika. Karya fiksi sebelumnya yang sudah terbit adalah novel Anakluh Berwajah Bumi yang diterbitkan oleh Gramedia-Kompas 2010. Ratna terlahir dari keluarga mampu, punya pendidik

Pengalaman Pertama Naik Kapal Ferry

Setiap diri dari kita pastilah pernah melakukan suatu perjalanan, baik itu dalam jarak yang dekat maupun jauh. Baik dilakukan dengan sendiri atau beramai-ramai. Setiap dari perjalanan itu memiliki suka dan duka masing-masing. Aku, sejak dilahirkan hingga kini menginjak usia dewasa, sudah beberapa kali melakukan perjalanan.  Enam tahun yang lalu, saat masa-masa kegalauan dan penuh ketidakpastian. Senja itu, aku duduk didepan seperangkat komputer di sebuah warnet, hendak mengecek pengumuman SNMPTN. Pukul lima sore katanya sudah bisa diakses, jadilah aku memasukkan nomor pendaftaran dan kabar bahagia itu datang. Aku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia dengan jalur beasiswa. Tidak di kota aku dibesarkan, melainkan di pulau seberang. Bukan. Bukan pulau Jawa! Melainkan pulau yang kaya dan terkenal penghasilan sumber daya alamnya berupa timah. Itu adalah pulau Bangka Belitung. Berbekal pengumuman dan sejumlah berkas persyaratan yang dibutuhkan